Copyright to Himmah Aliyah Management. Powered by Blogger.

Tuesday, December 28, 2010

Wahdah Lepas 15 Dai ke Daerah

Wahdah Lepas 15 Dai ke Daerah
Galang Dana Pemberangkatan Dai 47 Juta, Motor, cincin, Jam tangan

Dalam rangka penyebaran dakwahdan syiar Islam ke berbagai daerah di Indonesia, Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah (DPP WI) kembali menugaskan 15 Dai ke 4 daerah di sulsel dan 11 daerah di luar Sulsel. Pelepasan Dai ini ditandai dengan pembacaan SK penempatan oleh Ketua Departemen Pengembangan Daerah  WI pada acara Tabligh Akbar Tema “Aktualisasi Perjuangan dan Pengorbanan Nabi Ibrahim dan Keluarga (alaihimussalam) dalam Da’wah dan Tarbiyah”. Sabtu, 19 Muharram/25 Desember 2010 di Masjid Darul Hikmah Kantor Pusat DPP WI Jl.Antang Raya No.48 Makassar.

Para Dai yang dilepas ini, adalah Alumni dari program Tadrib ad-Duat (Pelatihan Dai) angkatan IX. Program rutin ini berjalan selama 1 tahun masa belajar dengan peserta di asramakan. Menurut Penanggung jawab Program ini Ustadz Ahmad Syarifuddin sampai saat ini sudah sekitar 150
Dai yang dikirim ke berbagai daerah di Indonesia. Sesuai Visi Misi 2015, Wahdah Islamiyah memiliki cabang di seluruh kabupaten kota di Pulau Sulawesi dan memiliki cabang di Seluruh Ibukota Provinsi di Indonesia.

Pada acara ini juga dirangkaikan dengan pengukuhan Club Remaja Muslim (CRM) el-Wahdah, suatu wadah yang menaungi para Siswa-Siswi SMP-SMA Islam Terpadu Wahdah Islamiyah dibawah Lembaga Pembinaan dan Konsultasi Anak (LPKA) WI. Ketua Umum dalam materinya mengingatkan kembali tentang kisah Nabiyullah Ibrahim Alaihissalam, yang merupakan kisah yang tidak pernah kering kapanpun dan dimanapun. Yakni komitmen dan kepatuhan yang sangat tinggi seorang muslim terhadap perintah Allah. Pelajaran laiannya adalah bahwa perjuangan itu inheren dan include dalam jiwa seorang muslim. Olehnya itu Ustadz mengajak untuk musahabah sejauh
mana besar kadar keimanan kita, hubungannya dengan perjuangan yang telah dilakukan. Perjuangan di sini tidak hannya ke arah spesifik, tapi meliputi dalam berbagai hal, seperti dakwah dan pembinaan.

Ada 3 unsur yang meliputi dalam suatu perjuangan yang disebutkan Ustadz. Pertama, dilakukan dengan kesungguhan dan berkesinambungan, Kedua, Pengorbanan yang tidak terbatas dari harta, waktu dan jiwa. Ketiga, Siap menghadapi berbagai kesulitan yang timbul. Ustadz Berharap ada tekad dari seorang muslim bahwa dirinya adalah seorang pejuang, akan berlomba-lomba mengambil bahagian dalam dakwah. Semangat juang perlu diwarisi, terutama saat ini dalam dakwah dan pembinaan. Dan berusaha berada dalam garis terdepan, selama masih memungkinkan, sesuai dengan kemulian dakwah. Jangan sampai seorang muslim kurang perhatian dengan semangat pejuangan yang lemah, bahkan berada di luar garis perjuangan.

Ustadz mengatakan bahwa sekarang ini betapa banyaknya potensi pemuda-pemuda Islam yang tidak termanfaatkan, olehnya itu diperlukan seorang muslim mengambil peran yang maksimal dalam dakwah dan pembinaan.

Pada kesempatan ini juga, Ketua Umum menjelaskan akan pentingnya pembinaan dalam keluarga, yang merupakan bagian dari dakwah.Seorang ibu memegang peran sentral dalam pembinaan, begitu juga peran sebagai bapak tidak kalah pentingnya untuk bisa mengayomi, mengarahkan dengan komunikasi yang intensif, menyiapkan faktor pendukung pembinaan, dan menciptakan suasana kedamaian dan kesejukan dalam rumah tangga. Semua ini menurut ustadz perlu melewati proses belajar dan pelatihan.

Kumpulkan Dana 47 Juta, Motor, Cincin dan Donor Darah 23 Kantong
 
Memanfaatkan momen Tabligh Akbar ini, digelar penggalangan dana guna pembiyaaan pemberangkatan dai, terkumpul dana sebesar 47 Juta ( Tunai Rp.25.716.600 dan pengakuan Rp.20.500.000) ditambah sumbangan 1 motor Honda Blade, 1 Cincin, 1 jam tangan, dan 1 tape.

Sebagai acara selingan panitia memutar video singkat “10 Menit Bersama Tabdribut ad-Duat Angkatan IX” dan penampilan tim nasyid CRM el-Wahdah dan tim nasyid dari Dai yang diutus dengan membawakan lagu “Selamat Tinggal Sahabat”, lagu ini banyak membuat peserta Tabligh Akbar terharu, sehingga tidak bisa menahan meneteskan air mata, syair lagu ini sangat menyentuh suasana pelepasan dai ke medan dakwah.

Acara Pelepasan Dai ini dirangkaikan dengan aksi Donor Darah dari Unit Transfusi Darah PMI Kota Makassar, terkumpul sebanyak 23 kantong darah. Aksi Donor darah kali ini hanya dari peserta ikhwan. 18 peserta akhwat yang mendaftarkan diri, semuanya tidak ada yang memenuhi syarat
untuk bisa mendonor. Menurut salah seorang petugas PMI mengatakan, banyak faktor yang mempengaruhi diantaranya kurang tidur pada malam hari (begadang), tidak sarapan pagi, haid, dan berat badan kurang dari 48 Kg.

Pengukuhan DPC Pangkep (Cabang Wahdah Islamiyah ke-44)

Dewan Pimpinan Pusat Wahdah Islamiyah (DPP WI), Ahad 26 Desember 2010 secara resmi mengukuhkan Dewan Pimpinan Cabang (DPC) Maros sebagai Cabang Wahdah yang ke-44. DPC Maros dikukuhkan langsung oleh Sekjend DPP WI Ustadz Ir. Muhammad. Qasim Saguni di Aula Islamic Centre Kabupaten Pangkep.
Pengukuhan ini dihadiri oleh Wakil Bupati Pangkep Drs.Abd.Rahman Assegaf dan berkenan memberikan sambutan kepada Pengurus DPC yang telah dikukuhkan.Wakil Bupati juga menjadi Saksi dalam penandantangan berita acara pengukuhan.

Mantan Aktivis MPM Unhas, Muhammad Aras, SP terpilih menjadi 01 Wahdah Pangkep Periode 1432 H-1436 H/2010-2014 M.Pengukuhan ini dirangkaikan dengan Musyawarah Kerja I dan Seminar “Obati Penyakit dan Jaga Kesehatan dengan Al Qur’an” yang dibawakan Oleh Ustadz Ir.Muhammad Qasim Saguni.

Sunday, November 14, 2010

Naskah Khutbah Seragam Wahdah Islamiyah Idul Adha Tahun 1431 H/2010 M

Naskah Khutbah Seragam Wahdah Islamiyah
Idul Adha Tahun 1431 H/2010 M
Dikeluarkan dan Direkomendasikan Oleh
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah

IBRAHIM – alaihissalam
PEMBANGUN KELUARGA PEJUANG
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ, نَحْمَدُهُ, وَنَسْتَعِينُهُ, وَنَسْتَغْفِرُهُ, وَنَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ شُرُورِ أَنْفُسِنَا, وَسَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا.
مَنْ يَهْدِهِ اللَّهُ فَلاَ مُضِلَّ لَهُ, وَمَنْ يُضْلِلْ فَلاَ هَادِيَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ, وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ حَقَّ تُقَاتِهِ وَلاَ تَمُوتُنَّ إِلاَّ وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ.
يَا أَيُّهَا النَّاسُ اتَّقُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ مِنْ نَفْسٍ وَاحِدَةٍ وَخَلَقَ مِنْهَا زَوْجَهَا وَبَثَّ مِنْهُمَا رِجَالاً كَثِيرًا وَنِسَاءً وَاتَّقُوا اللَّهَ الَّذِي تَسَاءَلُونَ بِهِ وَالأََرْحَامَ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَيْكُمْ رَقِيبًا.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلاً سَدِيدًا يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا.
أَمَّا بَعْدُ:
فَإِنَّ خَيْرَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ, وَخَيْرَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ, وَشَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا, وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ, وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ, وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…..
Laa Ilaha illalllah wallahu Akbar ,
Allahu Akbar walillahil hamd.
Maasyiral Muslimin Rahimakumullah !
Di pagi hari ini, seiring dengan tasbih semesta alam raya, seiring dengan ketundukan semua makhluk ciptaan Allah, kita kembali melantunkan pujian dan takbir pengagungan kepada Sang Maha Pencipta…Maha Pemelihara…Penguasa Jagad raya,….Dialah Allah tabaraka wata’ala , satu-satunya yang berhak untuk disembah dan ibadahi….
Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar…..
Laa Ilaha illalllah wallahu Akbar ,
Di sana,… di Padang Arafah , ketika berjuta tangan menengadah pada Sang Ilahi, ketika berjuta bibir bergetar menyebut namaNya, maka di pagi hari ini kita menyempurnakan semua itu, maka biarkan gema takbir ini membahana di angkasa, menyatu dengan tasbih semesta, membuang semua yang membuncah di dada,….

Sunday, September 12, 2010

Apa Sesudah Ramadhan?

Kita telah berpisah dengan bulan Ramadhan, bulan yang penuh berkah. Berpisah dengan siangnya yang begitu indah dan malamnya yang begitu harum semerbak. Kita berpisah dengan bulan Qur’an, bulan ketakwaan, kesabaran, Jihad, magfirah dan bulan pembebasan dari api neraka. Maka faedah apa yang sudah kita raih dari sekian banyak buah-buah Ramadhan yang begitu agung dan naungan-Nya yang begitu luas?

Apakah dalam jiwa kita telah terwujud ketakwaan sehingga kita keluar dari madrasah Ramadhan dengan predikat orang-orang yang bertaqwa? Dan apakah kita senantiasa sabar dalam ketaatan dan menjauhi ma’siat? Apakah kita telah mentarbiyah (mendidik) jiwa kita untuk melakukan berbagai bentuk jihad? Apakah kita telah berjihad melawan hawa nafsu dan mampu mengalahkannya ? Ataukah kita berhasil dikalahkan oleh kebiasaan-kebiasaan dan prilaku-prilaku buruk? Apakah kita telah berusaha sekuat tenaga untuk meraih rahmat, Magfirah-Nya dan pembebasan-Nya dari api neraka? Apakah….Apakah….Apakah…? Begitu banyak pertanyaan yang menyelimuti hati seorang muslim sejati yang senantiasa mengoreksi dirinya dan menjawabnya dengan jujur dan terus terang. Continue ►

Tuntunan Iedul Fitri

Setelah ummat Islam melaksanakan suatu ibadah yang agung yaitu puasa di bulan Ramadhan selama satu bulan lamanya, maka tibalah saatnya bagi ummat Islam menyambut kedatangan hari raya yang dinanti-nantikan yaitu ‘Iedul Fitri.

DEFINISI
‘Ied secara bahasa artinya setiap hari yang di dalamnya ada per-kumpulan, berasal dari kata (‘Aada-Ya’udu) artinya kembali, karena seakan-akan mereka kembali kepadanya. Ibnul A'rabi mengatakan :”’Ied dinamakan nama tersebut karena setiap tahun ia selalu kembali dengan kegembiraan yang baru” (Lihat: Lisanul Arab 3:319)

WAKTU ‘IED
‘Ied telah tiba apabila hilal (awal bulan) telah disaksikan oleh dua orang yang terpercaya. Rasulullah bersabda :
صُوْمُوْا لِرُؤْيــــَـتـِهِ وَ أَفْطِرُوْا لـِرُؤْيــــَـتِهِ متفق عليه

“Berpuasalah ketika melihat hilal (awal bulan) dan berbukalah (berhari raya) ketika melihatnya” ( HR. Bukhari dan Muslim )

TAKBIRAN
1. Waktu takbiran
Dimulai dari subuh hari saat berangkat menuju lapangan tanggal 1 Syawal dan diakhiri sampai imam memulai takbiratul ihram

Diriwayatkan bahwa Nabi صل اللة عليه وسلم :
كَانَ يَخـْرُ جُ يــَوْمَ الْفِطْرِ, فَيُكَبــِّرُ حَـتــَّى يَأْتـِيَ الْمُصَلــــَّى وَ حَـتـــَّى يَـقْضِيَ الصَّلاَةَ فَإِذَ ا قَضَى الصَّلاَةَ قَطَــعَ الـتـــَّكْبِــيْرَ

“Beliau keluar pada hari 'Iedul fitri maka beliau bertakbir hingga tiba di mushalla (tanah lapang) dan hingga ditunaikan shalat. Apabila beliau telah menunaikan shalat beliau menghentikan takbir” (HR. Ibnu Abi Syaibah)

2. Mengeraskan suara pada saat takbiran namun tidak secara berja-maah ; sebagaimana ditunjukkan riwa-yat di atas.

Syaikh Al Albani رحمه الله berkata: ”Dalam hadits ini disyariatkannya melakukan takbir secara jahar (keras/ bersuara) dalam perjalanan menuju mushalla. Mengeraskan takbir di sini tidak menunjukkan disyariatkannya berkumpul atas satu suara (menyuarakan takbir serempak dengan dipimpin oleh seseorang) sebagaimana yang dilakukan oleh sebagian orang”.
Dan diriwayatkan bahwa :

وَكـَانَ ابْنُ عُـمَرَ يُـكَبِّرُ بـــِمِنىً تِلْكَ اْ لأَ يــَّامَ وَخَلْفَ الصَّلَوَ اتِ وَ عَلَى فِرَ اشِهِ وَ فِيْ فُسْطَاطِهِ وَ مَجْلِسِهِ وَ مَمْشَاهُ تِلْكَ اْلأَيــــَّـامَ جَمِيْعـــًا


"Ibnu Umar pernah bertakbir di Mina pada hari-hari itu(Tasyriq) setelah shalat (lima waktu), di tempat tidurnya, di kemah, di majelis dan di tempat berjalannya pada hari-hari itu seluruhnya" (R. Bukhari)

3. Lafazh Takbiran
Mengenai masalah ini tidak ada hadits marfu' yang shahih menerangkan ten-tang lafazh Takbiran akan tetapi yang ada hanyalah lafazh yang diriwayatkan dari sebagian shahabat. Adapun lafazh yang dicontohkan oleh Ibnu Mas’ud رضي الله عنه adalah :

اَللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْـبَرُ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَ اللهُ أَكْــبَرُ اَللهُ أَكْــبَرُ وَ لـِلّــهِ الْــحَمْدُ
“Allahu Akbar Allahu Akbar Laa Ilaaha Illallahu Wallahu Akbar Allahu Akbar Walillahilhamdu”

Banyak kaum muslimin yang menyelisihi dzikir yang diriwayatkan dari shahabat ini dengan dzikir-dzikir dan tambahan-tam-bahan yang dibuat-buat tanpa ada asalnya. Al Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Pada masa ini telah diada-adakan tambahan dalam dzikir itu yang tidak memiliki asal(dalil)”.

ADAB-ADAB SEBELUM SHALAT ‘IED
1. Berhias serta berpakaian yang ter-indah dan yang terbaik (HR. Bukhari dan Muslim)

2. Mandi sebelum shalat ‘Ied, sebagaimana yang dilakukan oleh Ibnu Umar رضي الله عنهما (SR. Malik)

3. Makan pagi sebelum berangkat shalat ‘Iedul Fitri, sebaiknya dengan kurma dengan jumlah yang ganjil (HR. Bukhari dan Ahmad)

4. Menempuh jalan yang berbeda pada saat berangkat dan pulang (HR. Bukhari)

5. Berjalan kaki menuju ke tempat shalat (lapangan), kecuali jika ada udzur seperti sakit atau jauh jaraknya (R. Tirmidzi)

6. Membawa serta anak-anak dan kaum wanita (HR. Bukhari dan Muslim)

HUKUM SHALAT ‘IED
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah رحمه الله berkata: ”Kami menguatkan pendapat bahwa shalat ‘Ied hukumnya wajib bagi setiap individu (fardhu ‘ain), sebagai-mana pendapat Abu Hanifah dan lainnya. Hal ini juga merupakan salah satu dari pendapat Imam Syafi’i dan salah satu dari dua pendapat dalam madzhab Imam Ahmad”.

Diantara dalil yang menunjukkan tentang wajibnya shalat ‘Ied hadits Abu Hurairah رضي الله عنه Rasulullah صلى الله عليه وسلم bersabda:
قَدْ اِجْتـــَمَعَ فِيْ يـــَوْ مــِكُمْ هَذَا عِيْدَ انِ : فَمـَنْ شَاءَ أَجْزَ أَ هُ مِنَ الْجُمْعـــَةِ

“Telah berkumpul bagi kalian pada hari ini dua hari raya. Barangsiapa yang ingin (melaksanakan shalat ‘Ied) maka ia telah mercukupi dari shalat jum’at…”. (HR. Abu Daud dan Ibnu Majah)

Dalil ini menunjukkan bahwa shalat ‘Ied dapat menggugurkan kewajiban shalat Jum’at apabila bertepatan waktunya (yakni hari ‘Ied jatuh pada hari Jum’at). Sesuatu yang tidak wajib tidak mungkin dapat menggugurkan sesuatu yang wajib. Dan dalil yang lain adalah hadits Ummu ‘Athiyah رضي الله عنها:
كُـنـَّـا نـــُؤْمــَرُ أَنْ نــَخْـرُ جَ يـَوْمَ الْعِيْدِ حَـتـَّى تـَخـْرُ جَ الْبِكْرُ مِنْ خِدْرِهَاوحَـتــَّى تـَخْـرُ جَ الْحُيـَّضُ فــــَيـَكُـنَّ خَلْفَ النـــَّـاسِ


“Dahulu kami diperintahkan untuk keluar (shalat ‘Ied) pada hari raya hingga gadis-gadis pingitan keluar dari kamarnya bahkan mereka yang tengah haid dan mereka berada di belakang orang-orang” (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud)

Imam Asy Syaukani رحمه الله menjelaskan : “Dan beliau memerintahkan manusia untuk keluar mengerjakannya, sehingga menyuruh wanita-wanita yang merdeka, gadis-gadis pingitan dan wanita yang haid. Beliau menyuruh wanita-wanita yang haid agar menjauhi shalat dan menyaksikan kebaikan serta dakwah kaum muslimin. Bahkan Beliau menyuruh wanita yang tidak memiliki jilbab agar dipinjamkan oleh saudarannya. Kesemuanya ini menunjukkan bahwa shalat Ied hukumnya wajib 'ain dan bukan wajib kifayah…" (As Sail Al Jarror 1:315)

Syaikh Al Albani رحمه الله mengatakan: ”Maka perintah untuk keluar yang disebutkan menunjukkan wajib. Jika diwajib-kan keluar (ke tanah lapang) berarti diwajibkannya shalat lebih utama sebagaimana hal ini jelas tidak tersembunyi. Maka yang benar hukumnya adalah wajib tidak sekedar sunnah…” (Lihat : Tamamul Minnah hal. 344)

HAL-HAL YG BERKAITAN DENGAN SHALAT ‘IED
1. Dimulai saat terbitnya matahari ± setinggi tombak, disunnahkan mengerjakan shalat ‘Iedul Adha pada awal waktu dan melambatkannya pada shalat ‘Iedul Fitri dan akhir waktu shalat pada saat tergelincirnya matahari (Lihat : Minhajul Muslim hal. 278)

2. Shalat ‘Ied dilakukan di tanah lapang (HR. Bukhari Muslim)

3. Membawa tombak atau semacamnya untuk ditancapkan di depan tempat Imam sebagai sutrah (pembatas) (HR. Bukhari)

4. Shalat ‘Ied dilakukan sebelum khutbah (HR. Jama’ah kecuali Abu Daud)

5. Shalat ‘Ied tanpa didahului Adzan dan Iqomat (HR. Jama’ah kecuali Nasaa’i dan Ibnu Majah)

6. Shalat ‘Ied dua raka’at (HR. Ahmad)

7. Jumlah takbir pada raka’at pertama 7X (selain takbiratul ihram) dan pada raka’at kedua 5X (selain takbir ketika bangkit dari sujud) dan takbir dilakukan sebelum membaca Al Fatihah (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)

8. Mengangkat tangan setiap takbir sebagaimana yang dikerjakan oleh Ibnu Umar رضي الله عنهما (Lihat Za’adul Ma’ad 1:443)

9. Belum didapatkan hadits shahih marfu’ yang menerangkan bacaan Rasulullah صل اللة عليه وسلم diantara takbir namun Ibnu Mas’ud رضي الله عنه berkata :
بــَـيْنَ كُلَّ تــَكْبـــِيْرَ تــَـيْنِ حَمْدٌ ِللهِ وَ ثــــَـنــَـاءٌ عَلىَ اللهِ

”Diantara tiap dua takbir diucapkan pujian dan sanjungan kepada Allah سبحانه وتعلى (R. At Thabrani)

Imam An Nawawi رحمه الله menyebut-kan do’a yang dibaca diantara takbir ter-sebut:
سُـبْحَانَ اللهِ وَ الْحَمْدُ لِلّهِ وَ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ

“Subhanallahi Walhamdulillahi Wala Ilaha Illallahu Wallahu Akbar”

10. Disunnahkan membaca surah Al A’laa pada raka’at pertama dan surah Al Ghoosyiyah pada raka’at kedua (HR. Muslim)

11. Tidak ada shalat sebelum dan sesudah shalat ‘Ied (HR. Bukhari, Tirmidzi, Nasaa’i dan Ibnu Majah)

12. Dibolehkan mengerjakan shalat ‘Ied pada hari kedua jika luput (ada udzur) pada hari pertama (HR. Abu Daud dan Nasaa’i)

13. Jika tidak sempat shalat jama’ah bersama Imam boleh mengerjakannya sendiri di rumah dua raka’at. (lihat Fathul Bari 2:550)

14. Membaca do’a Iftitah sebelum takbir 7 X (Lihat Zaadul Ma’ad 1:443)

UCAPAN SELAMAT PADA HARI ‘IED
Berkata Al Hafizh Ibnu Hajar رحمه الله: “Telah diriwayatkan kepada kami dalam “Al Mahamiliyat” dengan isnad yang hasan dari Jubair bin Nufair ia berkata: ”Para shabat Rasulullah صل اللة عليه وسلم jika bertemu pada hari raya, maka berkata sebagian mereka kepada yang lainnya :

تــَقـــَبــَّلَ اللهُ مِنـــَّـا وَ مــِنـْكَ
”Taqabbalallahu minna wa minka” (Semoga Allah menerima dari kami dan darimu)” Shalawat dan salam semoga senantiasa dilimpahkan kepada junjungan kita Rasulullah صل اللة عليه وسلم, keluarga, dan shahabat-shahabat beliau صل اللة عليه وسلم (Al Fikrah)
-Ahmad Yusuf-

Monday, September 6, 2010

Contoh Surat Untuk Memutus Hubungan Pacaran, Karena Taubat

Bismillahirrahmaanirrahiim

Assalamu’alaikum wa rahmatullahi wabarakatuh.
Ba’da tahmid dan shalawat…

Ini adalah segores surat minimalis dari seorang ukhti yang mendapat hidayah dari Tuhannya dan bertaubat dari jalan maksiat dengan menghentikan hubungan haram bernama PACARAN !

Jika menurut ukhti-ukhti saudariku ini bermanfaat, bisa kalian copast dan memforward ke "pacar" kalian jika anti memang ingin betul-betul bertaubat dari sekarang.
Bismillah..assalamualaikum ya akhi fillah..

Syukur pada Allah yang masih mengkaruniakan nafas padaku dan padamu untuk segera memperbaharui taubat.

Akhi..rasanya aku telah menemukan Kekasih yang jauh lebih baik dan lebih segalanya darimu. Yang Tidak Pernah Mengantuk dan Tidak Pernah Tidur. Yang siap terus menerus Memperhatikan dan Mengurusku. Yang selalu bersedia berduaan denganku disepertiga terakhir malam. Yang siap Memberi apa yang kupinta. Dia yang Bertakhta, Berkuasa dan Memiliki Segalanya.
Maaf akhi, tapi menurutku kau bukan apa-apa dibanding dengan Dia. Kau sangat lemah, kecil dan kerdil dihadapanNya. Dia berbuat apa saja sekehendaknya kepadamu..dan akhi, aku khawatir apa yang telah kita lakukan selama ini membuatNya cemburu. Aku takut hubungan kita selama ini membuatNya murka. Padahal, Dia Maha Kuasa, Maha Gagah, Maha Perkasa, dan Maha Keras SiksaNya.

Akhi, belum terlambat untuk bertaubat. Apa yang telah kita lakukan selama ini pasti ditanyakan olehNya. Dia bisa marah, akhi. Marah tentang saling pandang memandang yang pernah kita lakukan, marah kerana setitik sentuhan kulit kita yang belum halal itu, marah kerana satu ketika dengan asyiknya aku harus membonceng motormu, marah karena pernah ketetapanNya aku adukan padamu atau tentang lamunanku yang selalu membayangkan-bayangkan wajahmu. Dia bisa marah. Tapi sekali lagi, semua belum terlambat. Kalau kita memutuskan hubungan ini sekarang, karena Dia Maha Memaafkan dan Mengampuni.
Akhi.., Dia Maha Pengampun, Maha Pemberi Maaf, Maha Menerima Taubat, Maha Penyayang, Maha Bijaksana.
Akhi, jangan marah ya. Aku sudah memutuskan untuk menyerahkan cintaku hanya padaNya, tidak pada selainNya. Tapi tidak cuma aku, akhi. Kau pun bisa menjadi kekasihNya, kekasih yang amat dicintai dan dimuliakan. Caranya satu, kita harus jauhi semua larangan-laranganNya termasuk dalam soal hubungan kita ini. InsyaAllah. Dia punya rencana yang indah untuk masa depan kita masing-masing. Kalau engkau selalu berusaha menjaga diri dari hal-hal yang dibenciNya, kau pasti akan dipertemukan dengan seorang wanita solehah. Ya, wanita solehah yang pasti jauh lebih baik dari diriku saat ini, seorang wanita yang akan membantumu menjaga agamamu, agar hidupmu senantiasa dalam kerangka mencari ridho Allah dalam ikatan pernikahan yang suci. Inilah doaku untukmu, semoga kaupun mendoakanku, akhi.
Akhi, aku akan segera menghapus namamu dari memori masa lalu yang salah arah ini. Tapi,aku akan tetap menghormatimu sebagai saudaraku dijalan Allah. Ya, saudara dijalan Allah, akhi. Itulah ikatan terbaik. Tidak hanya antara kita berdua, tapi seluruh orang mukmin didunia. Tidak mustahil itulah yang akan mempertemukan kita dengan Rasulullah ditelaganya, lalu beliaupun memberi minum kita dengan air yang lebih manis dari madu, lebih lembut dari susu, dan lebih sejuk dari krim beku.

Maaf akhi, Tidak baik rasanya aku berlama-lama menulis surat ini. Akutakut ini merusakkan hati. Goresan pena terakhirku disurat ini adalah doa keselamatan dunia dan akhirat sekaligus tanda akhir dari hubungan haram kita ini, insyaAllah.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh.

Barakallhufikum, semoga bermanfaat

Wassalam

Saturday, September 4, 2010

Naskah Khutbah Seragam Idul Fitri 1431 H


Naskah Khutbah Seragam Idul Fitri 1431 H / 2010 M
Dikeluarkan dan Direkomendasikan
oleh:
Dewan Syariah Wahdah Islamiyah
ISTIQAMAH MENUJU RIDHA ALLAH I
إن الحمد لله نحمده ونستعينه ونستهديه ونستغفره ونعوذ بالله من شرور أنفسنا ومن سيئات أعمالنا ، من يهده الله فهو المهتدي ومن يضلل فلا هادي له ، أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له وأشهد أن محمداً عبده ورسوله ،
) يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله حق تقاته ولا تموتن إلا وأنتم مسلمون (
) يا أيها الناس اتقوا ربكم الذي خلقكم من نفس واحدة وخلق منها زوجها وبث منهما رجالاً كثيراً ونساءاً واتقوا الله الذي تساءلون به والأرحام إن الله كان عليكم رقيباً (
) يا أيها الذين آمنوا اتقوا الله وقولوا قولا سديدا يصلح لكم أعمالكم ويغفر لكم ذنوبكم ومن يطع الله ورسوله فقد فاز فوزاً عظيماً (  أما بعد ،
فإن أصدق الحديث كتاب الله وخير الهدي هدي محمد صلى الله عليه وسلم وشر الأمور محدثاتها وكل محدثةٍ بدعة وكل بدعةٍ ضلالة وكل ضلالةٍ في النار 
Allahu Akbar.... Allahu Akbar.... Allahu Akbar.... La Ilaha Illallah Allahu Akbar.... Allahu Akbar Walillahi al-Hamd ....

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Dirahmati Allah I
Pagi hari ini, untuk kesekian kalinya dalam sejarah perjalanan ummat Nabi Muhammad e, dalam perjalanan usia kita, kita dipertemukan dalam suasana “imaniyah”  yang dibalut oleh rasa gembira dan suka cita. Rasa gembira yang disebabkan kita telah berhasil mencapai puncak pendakian “madrasah ramadhan” yang telah kita daki selama sebulan penuh dengan berbagai aktivitas ibadah yang disyariatkan di dalamnya. Gema takbir, tahlil dan tahmid  yang kita lantunkan sejak semalam hingga pagi hari ini, adalah salah satu wujud ungkapan rasa kegembiraan dan kesyukuran kita akan nikmat sebuah perjuangan ibadah yang kita lalui dengan penuh kesungguhan. Allah I berfirman:

وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَى مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ

“... Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, agar kamu bersyukur”. (Qs. al-Baqarah: 185)

Seluruh komponen umat Islam pada hari ini bagaikan satu tubuh, turut merayakan kegembiraan ini tanpa terkecuali, melupakan sejenak rasa duka, rasa takut, rasa lapar dan kekhawatiran lainnya, larut dalam kegembiraan yang telah dijanjikan oleh Allah I, al-Hakiim (Yang Maha Bijaksana), al-Aliim (Yang Maha Mengetahui) dengan hikmah dan ilmu-Nya yang tak terhingga menyatukan kita dalam lantunan Takbir (Allahu Akbar) yang mengajarkan kepada kita bahwa kita harus melucuti segala atribut kesombongan dan keangkuhan kita sebagai makhluk yang tak berdaya di tengah-tengah keMaha Besaran-Nya. Menyatukan kita dalam lantunan Tahlil (La Ilaha Illallah) sebagai bentuk ikrar dan janji setia kita atas sebuah penghambaan yang hakiki hanya kepada-Nya. Menyatukan kita dalam lantunan Tahmid (Walillahi al-Hamd) sebagai wujud pujian dan kesyukuran atas segala curahan nikmat dan karunia-Nya yang tak terbilang sejak kita masih berada dalam kandungan hingga detik ini, “Fabiayyi Alaai Rabbikumaa Tukaddzibaan”.... Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan ?.
Semoga Allah menerima segala amal ibadah kita, serta memaafkan dan mengampuni segala kekurangan, kesalahan serta kekhilafan-kekhilafan kita.

Allahu Akbar, Allahu Akbar La Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamd ....

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Selalu Diteguhkan Allah I Di Atas Jalan-Nya
Hari ini, untuk kesekian kalinya pula, kita kembali dinobatkan menjadi alumni madrasah Ramadhan, sebuah gelar yang menuntut kita untuk menyadari akan hakikat sebuah makna penting dalam ibadah puasa di bulan suci Ramadhan. Sebuah makna yang mengantarkan kita untuk tidak hanya sekedar menjadi Insan Ramadhani, yang hanya menjadikan Ramadhan sebagai sebuah terminal pemberangkatan sekaligus terminal tujuan, sehingga ia seolah-olah hanya menjadi hamba yang taat di bulan Ramadhan saja, aktifitas  dan semangat beribadahnya menjadi kendor bahkan hilang sama sekali, tak tersisa tatkala ia telah sampai di  terminal tujuan penghujung Ramadhan. Seharusnya, madrasah Ramadhan dengan segala ibadah yang disyariatkan di dalamnya membentuk  kita menjadi Insan Rabbani, yang menjadikan  Ramadhan sebagai tempat persinggahan sementara, mengumpulkan bekal, mengasah ketajaman semangat dan himmah (tekad), membangun kembali pondasi iman yang mungkin telah sedikit rusak bahkan hampir runtuh dengan banyaknya maksiat yang kita lakukan. Kemudian setelah melewati persinggahan ini, seorang Muslim Rabbani telah memiliki bekal cukup, nafas panjang dan siap bertarung untuk menjalani beratnya perjalanan sebelas bulan berikutnya.

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Selalu Berada di Dalam Lindungan-Nya.
Makna yang kita maksudkan di atas dapat kita himpunkan dalam sebuah kata yaitu Istiqamah.  Madrasah Ramadhan telah mengajarkan kepada kita arti sebuah keistiqamahan yang sesungguhnya, keistiqamahan dalam bertauhid dan mengikhlaskan penghambaan hanya kepada Allah.  Keistiqamahan dalam beribadah baik dalam tataran ibadah wajib dan sunnah, secara individu dan kolektif. Keistiqamahan dalam menjalani ketaatan serta keistiqamahan dalam meninggalkan kemaksiatan dan perbuatan dosa. 
Suatu ketika sahabat Sufyan Ibn Abdillah t mendatangi Sang Panutan Nabi Muhammad e dan berkata: “Ya Rasulullah, katakanlah kepadaku satu perkataan dalam Islam yang tidak akan aku minta lagi dari seorangpun setelah ini !”. Rasulullah e bersabda: “Katakanlah ! “Aku beriman hanya kepada Allah” lalu istiqamahlah (di atas perkataan tersebut)”. (HR. Muslim).
Sabda Rasulullah e ini sesuai dengan firman Allah I:

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا تَتَنَزَّلُ عَلَيْهِمُ الْمَلَائِكَةُ أَلَّا تَخَافُوا وَلَا تَحْزَنُوا وَأَبْشِرُوا بِالْجَنَّةِ الَّتِي كُنْتُمْ تُوعَدُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka meneguhkan pendirian (istiqamah), maka malaikat akan turun kepada mereka dengan mengatakan: "Janganlah kamu takut dan janganlah merasa sedih, dan bergembiralah kamu dengan syurga yang telah dijanjikan Allah kepadamu". (Qs. Fusshilat: 30).

Allahu Akbar, Allahu Akbar La Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamd ....

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Selalu Ditetapkan Hatinya Oleh Allah I Dalam Dien Ini
Keistiqamahan adalah sebuah sikap yang lahir dari sebuah proses perjalanan imaniyah seorang hamba. Sebuah proses yang membutuhkan pengorbanan dalam artian sesungguhnya. Sebuah proses pendewasaan dalam memahami hakikat ‘ubudiyah kepada Allah I. Keistiqamahan adalah hasil yang dicapai dari sebuah proses menempuh jalan kebenaran yang harus dilalui oleh seorang muslim secara total.  Imam Ibnu Rajab al-Hambali mengatakan : “Inti  dan maksud dari kata istiqamah adalah bertumpu dalam menapaki  jalan yang lurus (al-Sirat al-Mustaqim) yaitu berjalan di atas ajaran agama tanpa sedikitpun berpaling darinya”.
Jika Rasulullah e, manusia pilihan dan paling taat dalam menjalankan segala perintah Allah, sosok tauladan yang paling takut kepada Allah, yang dosa-dosanya telah diampuni oleh Allah, Rasulullah e masih dan tetap diperintahkan oleh Allah untuk istiqamah di atas jalan kebenaran dan menjauhi perkara batil, beristiqomah di atas tauhid dan memurnikannya dari segala virus kesyirikan, beristiqomah di atas petunjuk al-Qur’an dan al-Sunnah. Maka apalagi kita sebagai umatnya ? Allah Ta’ala berfirman:
فَاسْتَقِمْ كَمَا أُمِرْتَ وَمَنْ تَابَ مَعَكَ وَلَا تَطْغَوْا إِنَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ
“Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan”. (Qs. Hud: 112).

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Selalu Berada di Atas Jalan al-Haq !
Istiqamah dalam menjalankan ajaran dien ini, adalah berusaha untuk menanamkan pemahaman keislaman yang bersumber kepada manhaj Ilahi, manhaj Ahlussunnah Waljama’ah. Sebuah manhaj atau metode atau jalan yang menjadikan Rasulullah e dan generasi terbaik umat ini yaitu para sahabat y sebagai qudwah, tokoh dan patokan. Manhaj yang mencakup segala aspek kehidupan manusia baik dalam ‘aqidah, ibadah, akhlak dan mu’amalah.
Komitmen di atas manhaj ini adalah satu-satunya jalan kebenaran dan satu-satunya jalan keselamatan. Satu-satunya jalan yang diridhoi oleh al-Khaliq Azza wa Jalla. Manhaj yang telah mengantarkan kaum muslimin mencapai kemenangan gilang gemilang. Manhaj  telah mengantarkan kaum muslimin kepada sebuah peradaban yang tak tertandingi. Manhaj yang telah terbukti mampu mengantarkan seorang hamba menjadi manusia yang bermartabat dan bernilai untuk Islam dan perjuangan kaum muslimin dalam menegakkan kalimatullah di atas muka bumi ini. Manhaj yang telah merubah seorang Bilal ibn Rabah t yang tadinya seorang budak yang dihinakan menjadi seorang yang begitu lantang menyuarakan kalimat tauhid walau nyawa yang menjadi taruhannya. Manhaj yang telah mengantarkan Khalid Ibn al-Walid t yang tadinya adalah seorang kafir yang benci Islam dan kaum muslimin, menjadi seorang yang digelari “pedang Allah yang terhunus” siap membela panji Islam di shaf yang terdepan. Manhaj yang telah mengantarkan Sumayyah -Ibunda para syuhada-, rela  mengorbankan hidupnya disiksa hingga menemui ajalnya mempertahankan kehormatan diennya. Manhaj yang telah merubah watak bangsa Arab yang keras kepala, angkuh, jauh dari cahaya Ilahi menjadi bangsa yang berharkat dan bermartabat serta disegani oleh bangsa-bangsa lain.
Rasulullah e bersabda:

فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
“Hendaklah kalian berpegang teguh dengan jalan-ku dan jalan para Khulafaurrasyidin yang mendapatkan petunjuk setelahku, gigitlah ia dengan gigi geraham kalian” (HR. Abu Daud).

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Senantiasa Menjaga Amalan Secara Konsisten
Beristiqamah dalam menjalankan syariat Islam, berarti berusaha secara nyata menunjukkan kesungguhan dalam menjaga konsistensi dalam beramal secara kaffah. Derajat al-Muttaqin adalah sebuah pencapaian yang mengharuskan seorang muslim untuk bersabar menjaga kesinambungan amalan. Menjaga mata rantai amalan adalah merupakan ciri utama dari amalan-amalan yang disyariatkan di dalam Islam. Rasulullah e adalah panutan kita dalam menjaga kesinambungan mata rantai amal-amal sholeh. Di dalam salah satu haditsnya, Rasulullah e bersabda:

“Sesungguhnya amalan yang paling disukai oleh Allah adalah yang berkelanjutan meskipun jumlahnya sedikit”. HR. Muslim

Kaum muslimin sekarang ini mengalami krisis panutan, banyak orang alim, orang pandai, mahir melantunkan ayat-ayat Allah, lancar membaca sabda-sabda Nabi e, gemar  menukil ucapan-ucapan hikmah para salafusshalih. Tapi dalam aplikasinya, dalam lapangan beramal, hanya sedikit yang berbuat, hanya sedikit yang konsisten menjaga keselarasan kata dan perbuatan. Olehnya itu, mari kita mulai dari diri kita sendiri, jaga amalan-amalan wajib. Hidupkan amalan-amalan sunnah. Mari kita mulai menyisihkan sedikit dari waktu malam-malam kita untuk melaksanakan qiyamullail, menahan lapar dan dahaga dengan puasa-puasa sunnah, menjaga tradisi infak dan sedekah walaupun sedikit dari yang kita miliki. Mari kita ubah paradigma ibadah dari sebuah taklif  (tuntutan) menjadi sebuah kebutuhan yang perlu untuk kita tunaikan.

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Selalu Dijauhkan Oleh Allah Dari Tipu Daya Syaithan.
Beristiqamah di atas syariat agama Allah, mempunyai makna siap bertarung menghadapi segala rintangan dan halangan serta cobaan dalam menegakkan dienullah. Kita sadari, menegakkan dienullah dan berpegang teguh dengannya di tengah arus kuat gelombang syubhat dan syahwat tidaklah mudah. Terkadang kita lalai, lengah dalam meniti jalan keistiqomahan. Gerakan pengusung syubhat yang berusaha mengaburkan ajaran-ajaran Islam yang bersifat prinsip, terus mencari celah agar ummat Islam tidak lagi memahami ajaran Islam yang sebenarnya. Lihatlah betapa banyak kaum muslimin dewasa ini, bahkan orang-orang yang dianggap sebagai ilmuwan dan insan cendekia, membawa dan menyebarkan pemikiran yang bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar Islam, atas nama kebebasan, hak asasi dan kesetaraan gender. Maka tidaklah mengherankan jika sebagian ummat Islam tidak lagi menganggap penting batasan-batasan syariat yang tidak boleh dilanggar apalagi dilecehkan.
Tak kalah hebatnya, gerakan pengusung syahwat yang juga semakin melebarkan sayapnya dalam memasarkan jualan syahwat mereka. Mereka tidak memiliki perasaan malu -yang merupakan salah satu bagian penting dari keimanan-, tidak risih memamerkan nafsu bejatnya yang terkadang sebagian binatangpun enggan mempertontonkannya. Zina dan pergaulan bebas, tayangan-tayangan infotaiment yang sangat tidak mendidik, dunia maya, film, sinetron, iklan, majalah dan yang lainnya  yang mempertontonkan aurat wanita dan bagian-bagian tubuh yang seharusnya dijaga dan ditutup, menjadi konsumsi harian jutaan penduduk muslim di negara ini. Akibatnya, tindakan amoral, pelecehan seksual  kerap terjadi, bahkan setiap hari menghiasi media yang kita tonton dan kita baca.

Ma’asyiral Muslimin Yang Semoga Diselamatkan Oleh Allah Dari Adzab-Nya.
Kondisi dan realita yang kita hadapi ini, semakin menyadarkan kita betapa keistiqamahan dalam menjalankan syariat memerlukan mujahadah yang berlipat ganda. Dan betapa usaha untuk meng-istiqamahkan diri-diri kita, anak istri kita, keluarga kita, masyarakat kita, menjadi sebuah pekerjaan rumah yang senantiasa harus dijadikan agenda utama dan pertama.  Kita tak boleh lari dari kenyataan, patah semangat, apalagi kalah sebelum bertanding. Ingat, Allah pasti akan memuliakan agama ini dengan kita atau tanpa kita. Kitalah yang butuh untuk bergabung dalam shaf-shaf orang yang beristiqomah, menjadi pejuang-pejuang Islam, menjadi ansharullah siap berkorban waktu, tenaga , harta serta  seluruh hidup kita adalah lillahi wa fillah, untuk Allah dan di jalan Allah. Ketahuilah, surga yang merupakan barang dagangan Allah -sebagaimana yang disebutkan di dalam hadits riwayat Tirmidzi- sangat mahal dan kita harus membelinya dengan harga yang pantas. Maka harga yang pantas untuk suatu kemuliaan adalah kemuliaan itu sendiri. Dan kemuliaan itu letaknya ada pada keistiqamahan menegakkan dienullah. Allah I berfirman:

إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَى مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنْفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُمْ بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ
“Sesungguhnya Allah Telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka”. (Qs. al-Taubah: 111).

Bagi yang telah bergabung dalam shaf-shaf perjuangan, jangan pernah merasa puas apalagi bangga dengan apa yang telah diberikan. Apa yang telah kita perbuat masih terlampau sedikit. Masih banyak agenda ummat yang perlu dibenahi dan dituntaskan. Selama fenomena kesyrikan dan kekufuran  masih menjamur, selama bid’ah dan kemaksiatan bagaikan roda yang terus menggelinding, selama aliran-aliran sesat dan paham-paham menyimpang masih mendapatkan suara dan pengikut, selama tatanan kehidupan masyarakat kita yang masih dipengaruhi oleh paham kebendaan, semuanya diukur dengan harta, materialistis menjadi gaya hidup, kaum kapitalis masih kokoh menancapkan kuku-kukunya dalam sistem perekonomian kita. Selama sistem hukum masih belum bersumber kepada landasan syariat, belum berpihak kepada keadilan yang sesungguhnya. Maka selama itu pula perjuangan ini belum berhenti dan tidak boleh berhenti. Rapatkan barisan, tinggalkan perselisihan yang tidak penting, buang sifat ego dan ingin benar sendiri, hidupkan tradisi tanasuh (saling menasehati) dan ta’awun (saling menolong), apa yang telah dilakukan oleh saudara kita selama tidak bertentangan dengan syariat, mari kita terima sebagai sebuah usaha yang patut untuk disyukuri dan didukung. Allah I berfirman:

شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ
“Dia telah mensyari'atkan bagi kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya”. (Qs. al-Syura: 13)

Allahu Akbar, Allahu Akbar La Ilaha Illallah Allahu Akbar, Allahu Akbar Walillahi al-Hamd ....
Kepada para pemimpin dan pemegang kebijakan di negeri ini !
Rakyat merindukan pemimpin-pemimpin yang memelihara keistiqamahan dalam berkata,  berbuat dan bertindak. Anda sekalian adalah harapan rakyat. Di pundak anda sekalian terdapat tanggung jawab yang besar. Berkacalah kepada para pemimpin umat Islam terdahulu yang telah menorehkan tinta emas dalam kepemimpinan mereka. Kekuasaan menjadikan mereka bertambah takut dan dekat kepada Allah dan bukan justru menjadikan mereka semakin lupa daratan dan mabuk kekuasaan. Masih banyak rakyat yang hidup di bawah garis kemiskinan. Masih banyak rakyat yang belum  mendapatkan pendidikan layak dan layanan kesehatan yang memadai. Kalau persoalan tabung gas saja belum dapat diselesaikan dengan cara yang baik dan bijak, apalagi dengan masalah yang lebih besar dan rumit. Camkanlah ungkapan Amirul Mukminin Umar bin Khattab t: “Jika ada seekor keledai di negeri Irak yang terperosok ke dalam lubang di suatu jalan, niscaya aku merasa akan ditanya pada hari kiamat kelak, “Mengapa engkau tidak memperbaiki jalanan tersebut ?”.
Sudah saatnya para pemimpin bangsa ini sadar, bahwa tidak ada sistem dan aturan bernegara yang dapat menyelesaikan seluruh persoalan umat kecuali sistem dan aturan yang berasal dari Dzat Yang Maha Bijaksana yang paling mengetahui kemaslahatan dan kemudharatan bagi umat manusia.

Kepada rakyat yang dipimpin !
Kualitas pemimpin dan penguasa yang mengatur kehidupan kita, adalah gambaran dari wajah kita sebenarnya. Kalau rakyatnya curang, senang menipu maka Allah akan mengutus pemimpin yang karakternya kurang lebih sama dengan karakter orang yang dipimpin. Sebagaimana firman Allah :

وَكَذَلِكَ نُوَلِّي بَعْضَ الظَّالِمِينَ بَعْضًا بِمَا كَانُوا يَكْسِبُونَ  
“Dan Demikianlah kami jadikan sebahagian orang-orang yang zalim itu menjadi teman bagi sebahagian yang lain disebabkan apa yang mereka usahakan”. (Qs. al-An’am: 129)

Rasulullah e juga bersabda:

“Tidaklah satu kaum mengurangi takaran dan timbangan, kecuali mereka akan ditimpa musim paceklik, kesulitan hidup serta dikuasai oleh penguasa yang zalim” (HR. Ibnu Majah).

Kalau persoalan timbangan dan takaran yang curang menyebabkan kita dikuasai oleh pemimpin yang dzalim, maka bagaimana jika kecurangan yang dilakukan lebih besar lagi ?.
Seharusnya kita saat ini lebih banyak beristighfar, bertaubat, bertekad untuk memperbaiki diri kita masing-masing, niscaya Allah akan mengutus pemimpin dan penguasa yang bersikap adil dan sayang kepada rakyatnya.

Kepada para orang tua dari setiap anak kaum muslimin !
Madrasah pertama bagi setiap anak adalah rumahnya. Anak adalah amanah Allah yang dititipkan oleh Allah pada anda berdua. Jangan biarkan anak kita kehilangan momentum dan sentuhan pendidikan Islami. Didiklah mereka sejak kecil dengan al-Qur’an, jadikan al-Qur’an sebagai teman dan sahabat setia mereka. Sudah saatnya di setiap rumah kaum muslimin ada penghapal-penghapal al-Qur’an. Mari kita canangkan gerakan satu rumah satu penghapal al-Qur’an.  Kalau seorang anak telah terbiasa dengan sentuhan kalam Ilahi, maka aturan Ilahi insya Allah akan mudah menyentuh dan menghiasi hati, perbuatan dan perkataan mereka.

Kepada setiap wanita Muslimah
Anda adalah mahkota kehidupan dunia, hiasi dunia ini dengan kelembutan, kesantunan dan kesopanan. Jangan biarkan harga diri dan kehormatan anda rusak dan terhinakan akibat hasutan dan propaganda orang-orang yang ingin menjerumuskan anda. Kemuliaan anda terletak pada ajaran Islam, kebanggaan anda terletak pada jilbab dan pakaian yang menutupi tubuh anda. Hiasilah kehidupan anda dengan ketaqwaan. Jadikan setiap anak berkata: “Wanita yang paling aku idolakan adalah Ibuku”. Jadikan setiap suami berkata: “Wanita yang paling berpengaruh dalam hidupku adalah istriku tercinta”. Jadikan setiap ayah berkata: “Wanita yang paling aku banggakan adalah putriku”. Maka, kebanggaan dan kemuliaan itu sekali lagi ada dalam ajaran Islam.

Kepada Para Remaja Generasi Muda Islam
Salah satu pertanyaan yang akan diajukan kepada setiap kita di hari kiamat nanti adalah “Di mana engkau habiskan masa mudamu ?”. Masa muda adalah masa keemasan. Maka sinarilah masa keemasan ini dengan cahaya Islam. Ummat Islam merindukan pemuda-pemuda seperti Ali ibn Abi Thalib sang ilmuwan Islam, Mus’ab ibn Umair t diplomat serta mujahid tangguh di lahan dakwah, ‘Urwah al-Bariqiy t pedagang dan saudagar ulung, Aisyah binti Abu Bakar y penghapal dan perawi sunnah-sunnah Nabi e. Hilangkan keraguan ! Katakanlah bahwa kami siap melanjutkan tongkat estafet perjuangan umat. Ingatlah wahai para pemuda ! Hidup di dunia hanya sekali, maka hiduplah yang berarti.

Ma’asyiral Muslimin yang Semoga Allah Mengumpulkan Kita Semua Kelak di Surga-Nya
Dalam rangka melanjutkan ibadah puasa di bulan Ramadhan yang baru saja berlalu, Rasulullah e berpesan agar berpuasa enam hari di bulan ini, bulan Syawal, sebagaimana di dalam hadits:
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ ثُمَّ أَتْبَعَهُ سِتًّا مِنْ شَوَّالَ فَكَأَنَّمَا صَامَ الدَّهْرَ
“Barangsiapa yang mengikutkan puasa bulan Ramadhan dengan puasa enam hari di bulan Syawal maka ia seakan-akan telah berpuasa setahun lamanya”. HR. Muslim.
Pelaksanaannya dapat berturut-turut selama enam hari dan juga dapat dipisah-pisah dalam sebulan.

Akhirnya, di hari yang mulia ini, marilah kita sekali lagi memuji dan bersyukur kepada Allah seraya menundukkan hati, pandangan dan wajah kita, berdo’a dan bermunajat kepada Allah I
الحمد لله رب العالمين والصلاة والسلام على رسوله الأمين و على آله وصحبه والتابعين،
اللَّهُمَّ إِنَّا نَحْمَدُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُحْمَد وَنَشْكُرُكَ بِأَنَّكَ أَهْلٌ أَنْ تُشْكَر وَنُثْنِيْ عَلَيْكَ الْخَيْرَ كُلَّهُ فَإِنَّكَ أَنْتَ أَهْلُ الْمَجْدِ وَالثَّناَءِ ، رَبَّناَ ظَلَمْناَ أَنْفُسَناَ ظُلْماً كَثِيْراَ وَإِنَّهُ لاَ يَغْفِرُ الذُّنُوْبَ إِلاَّ أَنْتَ فَاغْفِرْ لَناَ مَغْفِرَةً مِنْ عِنْدِكَ وَارْحَمْناَ إِنَّكَ أَنْتَ الْغَفُوْرُ الرَحِيْم
Ya Allah, Engakulah Penguasa langit dan bumi, Penguasa dunia dan akhirat, kami datang kepadaMu di hari yang penuh berkah ini mengadu akan beratnya dosa yang telah kami kerjakan. Kami sadar bahwa nikmat pemberianMu belumlah dapat kami syukuri dengan sebenarnya, kami mengaku kesalahan kami lebih banyak dari kebaikan kami, namun kami yakin bahwa Engkau adalah Dzat Yang Maha Pengampun, Maha Pengasih dan Penyayang, maka kami berharap kepadaMu Ya Allah ampunkanlah segala dosa dan kesalahan kami.

“Ya Allah, Engkaulah adalah Rabb (Tuhan) kami, tidak ada Tuhan yang berhak disembah kecuali Engkau, Engkau telah ciptakan kami. Kami  adalah hamba-hamba Mu. Kami  akan setia pada perjanjian denganMu semampu kami. Kami  berlindung kepadaMu dari keburukan  perbuatan kami. Kami   akui segala karunia nikmatMu atas kami, dan kami akui  pula dosa-dosa kami ampunilah kami.  Sesungguhnya tiada yang mengampuni dosa kecuali Engkau”.

Ya Allah, kami adalah hamba-Mu, anak dari hamba-Mu, ubun-ubun kami berada di tangan-Mu, telah berlaku atas kami hukum-Mu, keputusan-Mu atas kami pasti adil, kami memohon kepada-Mu dengan menggunakan semua nama yang menjadi milik-Mu dan Engkau namakan diri-Mu dengannya, atau nama yang Engkau turunkan dalam kitab suci-Mu, atau yang Engkau ajarkan kepada salah satu di antara hamba-Mu, atau dengan nama yang Engkau simpan dalam rahasia ghaib di sisi-Mu, jadikanlah Al-Qur’an yang agung ini penyejuk hati kami , jadikan ia cahaya di dada-dada kami, pelipur lara dan penghapus gulana, jadikan pula ia pembimbing kami menuju surga-Mu yang penuh kenikmatan.

Ya Allah, Yang Maha Melihat dan Maha Mendengar, hanya kepadaMu kami adukan beratnya keadaan kami saat ini, bimbinglah kami agar selalu berjalan di jalanMu, mendapat kasih sayangMu, menggapai cinta dan ridhaMu. Ya Allah kami hanyalah satu dari makhlukMu yang selalu bergantung kepadaMu, butuh akan rahmat dan petunjukMu, Ya Allah kasihi kami, tunjuki kami agar kami tidak sesat dan tersia-siakan.
Ya Allah, kedua ayah ibu kami yang masih hidup ataupun yang telah wafat adalah orang yang pertama kali berjasa kepada kami, memperkenalkan kami kepadaMu, merawat, mendidik dan membimbing kami dengan penuh kesabaran, tak jarang air mata mereka tumpah karena ulah kami, Ya Allah tak ada yang mampu kami berikan kepada mereka kecuali seuntai doa kepadaMu untuk mengampunkan kekhilafan dan kesalahan mereka, melimpahkan kasih sayang dan rahmat kepada mereka, ampunkan mereka yang telah wafat, bimbing dan tunjuki mereka yang masih bersama kami dan jadikanlah kami orang yang mampu berbakti kepada mereka sesuai tuntunanMu, Engkaulah Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Mengabulkan Doa.

Ya Allah, kami sadar bahwa mengatur hajat hidup orang banyak tidaklah mudah, butuh kekuatan dan kesabaran, terkadang harapan berbuat kebaikan tidaklah berbuah kebaikan di kenyataan, Ya Allah tunjukilah para pemimpin kami kepada jalanMu yang lurus, bimbinglah mereka agar senantiasa berbuat adil dengan syariatMu, tuntunlah mereka agar lebih sayang kepada masyarakatnya dan berilah kami semua kesabaran melewati segala cobaan yang engkau timpakan kepada kami lewat mereka.

Ya Allah sejukkan pandangan kami dengan kesholehan keluarga dan anak-anak kami, jadikanlah mereka pejuang di jalanMu, jadikanlah kami dan mereka sebagai Ahlul Quran, yang Engkau tempatkan sebagai manusia-manusia pilihanMu.

Ya Allah berkahilah dan  tuntunlah para ustadz kami, para guru-guru kami yang tak kenal lelah mengajar dan membimbing kami menggapai ridhaMu, sucikan hati mereka, lapangkan rezki mereka, hindarkan mereka dari setiap marabahaya dan lindungi mereka dari setiap tipu daya dan makar musuh-musuhMu.
Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan penjaga urusan kami, perbaikilah dunia kami yang menjadi tempat hidup kami, dan perbaikilah akhirat kami karena dialah tempat kembali kami. Jadikan kehidupan ini sebagai penambah segala kebaikan bagi kami, dan jika kematian menjelang kami, maka jadikanlah ia Ya Allah, perbaikilah agama kami yang merupakan penjaga urusan kami, perbaikilah dunia kami yang menjadi tempat hidup kami, dan perbaikilah akhirat kami karena dialah tempat kembali kami. Jadikan kehidupan ini sebagai penambah segala kebaikan bagi kami, dan jadikan kematian sebagai kebebasan kami dari segala keburukan.

Ya Allah berkahilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dengan ketaatan padaMu, yang akan mengundang curahan rahmatMu. Lindungilah negeri kami ini dan seluruh negeri kaum muslimin dari busuknya dosa dan pengingkaran atas syari’at-Mu. Ya Allah janganlah Engkau adzab kami karena kezaliman sebagian di antara kami. Berikankanlah setiap pemimpin kami segenap keyakinan dan kemampuan untuk meniti jalan istiqamah di atas petunjuk dan syari’at-Mu, yang dengannya mereka membimbing kami menuju keselamatan di dunia dan di akhirat.

Ya Allah, di sini di hari ini kami bergembira, hati kami dipenuhi rasa suka dan cita, namun sepenggal hati kami ini pula diselimuti duka dan kesedihan bila mengingat ada sebagian saudara kami di sana tak mampu seperti kami merayakan hari ini, mereka terusir dari tanah tempat tinggal mereka, terkekang oleh tirani jahat yang tak pernah rela akan agamaMu, terintimidasi oleh kekuatan zalim yang gemar keangkuhan dan kepongahan, di Irak, di Afghanistan, dan.… di Palestina !
Ya Allah cucurkan pertolonganMu pada kami dan saudara-saudara kami di Pelestina, yang berjuang dan mempertaruhkan nyawa demi keagungan tauhid Mu, yang rela terpenjara di negerinya sendiri demi mempertahankan agama dan kehormatannya. Ya Allah bebaskanlah masjid al-Aqsha dari penjajahan musuh-musuhMu.   Ya Allah, masukkan rasa gembira ke dalam hati saudara-saudara kami sebagaimana yang Engkau berikan kepada kami walaupun hanya setetes, sampaikan kepada mereka bahwa sukacita kami hari ini dikabungi duka nestapa mereka, Ya Allah hanya kepadaMu kami adukan besarnya kezhaliman musuh-musuhMu atas saudara-saudara kami, balaslah mereka dengan balasan setimpal, hancurkan kekuatan mereka, timpakan atas mereka apa yang telah mereka timpakan atas kami, Ya Allah Engkaulah satu-satunya Penolong dan Pelindung kami.

Ya Allah, berikan kepada kami rasa takut kepada-Mu, yang akan membentengi kami dari maksiat kepada-Mu, anugerahkan kami ketaatan kepada-Mu yang akan mengantarkan kami ke surga-Mu, dan berikanlah kami keyakinan atas janji-janji Mu , yang akan meringankan kami dalam menghadapi musibah dunia. Berikanlah kenikmatan pada pendengaran, penglihatan dan semua kekuatan selama Engkau hidupkan kami, jadikanlah semua itu sebagai peninggalan kami. Jadikanlah ia sebagai pembalasan kami atas orang-orang yang telah menzhalimi kami, tolonglah kami atas orang-orang yang memusuhi kami, janganlah Engkau menjadikan musibah menimpa kami dalam agama dan iman kami, janganlah Engkau menjadikan dunia ini sebagai puncak cita-cita dan ilmu kami, dan janganlah Engkau menguasakan atas segala urusan kami dari kalangan orang-orang yang tidak takut kepada-Mu dan tidak menyayangi kami.
Ya Allah, Dzat Yang Maha Mengabulkan Doa, terima dan kabulkanlah segala amal ibadah kami di bulan Ramadhan lalu dan berikan kami kekuatan untuk mempertahankan amal ibadah tersebut di bulan ini dan bulan-bulan selanjutnya. Kabulkanlah doa kami Ya Allah, penuhi permintaan kami ini, kamilah hambaMu yang lemah, harapan kami hanya kepadaMu, Engkau Maha Mendengar, Engkaulah Penguasa satu-satunya Yang Haq, Engkaulah sebaik-baik Pemberi yang diharap.

اللَّهُمَّ رَبَّناَ لاَ تُزِغْ  قُلُوْبَناَ بَعْدَ إِذْ هَدَيْتَناَ وَهَبْ لَناَ مِنْ لَدُنْكَ رَحْمَةً إِنَّكَ أَنْتَ الْوَهَّابُ ،
ربنا آتنا في الدنيا حسنة وفي الآخرة حسنة وقنا عذاب النار، سبحان ربك رب العزة عما يصفون وسلام على المرسلين والحمد لله رب العالمين وصل اللهم ربنا وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
                                                                                                             
Penerbitan Khutbah Seragam Iedul Fitri 1431 H 1000 Eksemplar Disponsori oleh:

Wednesday, August 25, 2010

Some Manifestations of Allah’s Kindness

Allah is kind to us in ways that we cannot even imagine. His kindness is manifested to us from before we are born into our infancy and adulthood, in every aspect of our lives.

It is from Allah’s kindness that He creates the fetus in its mother’s womb, and that the womb does not reject it even though it is a foreign body. Allah makes the womb ready to welcome it. Allah thus enfolds the fetus in three protective coverings, that of the placenta, that of the womb, and that of the mother’s body where it develops in safety and receives nourishment from its mother.

It is from Allah’s kindness that the newborn knows to take its mother’s breast and knows to cry whenever it is hungry or needs something so that its needs can be tended to.

It is from Allah’s kindness that He blesses us with patience and fortitude in the face of pain and hardship. When we bear patiently what befalls us reconcile ourselves to His will, it is good for us. We see this in the story of Joseph (peace be upon him). First, he suffered at the hands of his brothers who abandoned him at the bottom of a well. Then he suffered years of imprisonment in Egypt as a result of sexual allegations he was innocent of. Finally, Allah blessed him to enjoy power and influence in Egypt. After everything that happened, Joseph declared: “Lo! My Lord is Most Kind to whom He pleases.” [Sūrah Yūsuf: 100]

Most people grumble about the tribulations that they face as individuals and as communities, because they do not see anything in them but their obviously negative aspects. With time, they come to see the situation’s many dimensions and outcomes, and they realize that it manifests Allah’s kindness in many profound ways.

It is from Allah’s kindness that He made the religion easy. Allah says: “And in truth We have made the Qur'an easy to understand, so will anyone take heed?” [Sūrah al-Qamar: 17]

Facilitation and flexibility are among the overarching principles of Islamic law. Whenever Prophet Muhammad (peace be upon him) was faced with a choice between two options, he would always choose the easiest of the two, as long as no sin was involved. [Sahīh al-Bukhārī (3560, 6786) and Sahīh Muslim (2327)]

Allah is Kind in what he provides for us and in what He withholds from us. This is why Allah says: “Allah is Most Kind to His servants; He gives sustenance to whom He pleases.” [Sūrah al-Shūrā: 19]

It is from Allah’s kindness that He gives His servants of His bounties what is best for them and withholds from them when receiving those bounties is not in their best interests. Allah gives to us and withholds from us according to the dictates of His wisdom, mercy, and justice.

If we ponder Allah’s kindness towards us, we will feel more devoted to Him and we will glorify His praises all the more. Whenever we are in difficulty or distress, we should remember that Allah is Most Kind, and beseech Him, saying: “O You who are the Most Kind, show kindness to me and save me from that which I dread.”

Salman Al-Odah
http://en.islamtoday.net/artshow-241-3740.htm

Measuring the 'Religiosity' of Muslims

Religion is a natural human need. It has been so since Allah created Adam and will remain so as long as there are people on Earth. People differ in their religiousness according to how closely they remain true to the natural religious disposition that Allah, in His mercy, has instilled in all human beings.

Allah says: " Then set your face upright for religion in the right state -- the nature made by Allah in which He has made humanity." [Sûrah al-Rûm: 30]

He also says: "And (remember) when your Lord brought forth from the Children of Adam, from their reins, their seed, and made them testify of themselves, (saying): Am I not your Lord? They said: Yea, verily. We testify. That was so you should not say at the Day of Resurrection: Lo! Of this we were unaware " [Sûrah al-A`râf: 172]

Therefore, from an Islamic standpoint, a religious person is someone who is behaving in accordance with human nature, whereas an irreligious person is behaving contrary to that nature. However, if the circumstances are conducive, the potential for that person to return to the natural way is, by Allah's grace, always there.

The Problem

The measurement of religiousness -- or religiosity -- is undertaken within the field of psychology, particularly the psychology of religion -- the psychological study of religious experiences, beliefs, and activities -- which aims to inform understanding of religion through science. Psychology is, without doubt, one of the most important social sciences, and one most in need of Muslim specialists who are able to work within the field in accordance with the dictates of Islam.

A crucial aspect of psychology is psychometrics, a field of study concerned with the theory and technique of educational and psychological measurement, which includes the measurement of knowledge, abilities, attitudes, and personality traits. The field is primarily concerned with the construction and validation of measurement instruments, such as questionnaires, tests, and personality assessments.

Psychometrics is extremely important, and not only in purely psychological research. It has an immense practical value, with a wide array of applications to many areas of research, including health research, productivity studies, industry analysis, marketing, and media studies.

The earliest and most well-known area of psychometric research is of course intelligence testing. Psychometrics has subsequently been applied to the measurement of personality, attitudes, and beliefs, and academic achievement. One area of inquiry that was for a long time neglected by psychometrics in the West was tat of religiousness and spirituality. According to Dr. David Wulff, a leading specialist in the psychology of religion, this was in a large part due to the attitude Western academia has exhibited towards religion.

Unfortunately, this attitude seems to have rubbed off on many Muslim psychologists, who have not given the psychology of religion the attention that it deserves, and when they have attended to the matter at all, have usually sufficed with merely translating the standards and measurements developed by non-Muslim psychologists in the West and applying them without any critical consideration to Muslims living in the Muslim world. Examples of such studies were those conducted by Hina (1959), Abdulali (1977), Abulnayl (1978) and al-Hiwari (1978) with less than satisfactory results.

This problem demands of Muslim psychologists that they make a concerted effort to critical engage with the psychometrics of religiousness ad develop standards ad methods of assessment that are suitable to measure religiousness in a Muslim context.

The importance of this should not be underestimated. Effective psychometric studies of religiousness in the Muslim world has both theoretical and practical value. There is a vast array of studies needed in the Muslim world where an accurate assessment of people's religiousness is indispensable. These include political analysis, public policy formulation, productivity and commerce studies, development studies… the list goes on.

The Measurement of Religiosity

Psychometrics measures to what extent an individual possesses a certain psychological characteristic. The particular characteristic we are concerned with here is "religiosity", which we can define as: the degree to which an individual adheres to the beliefs and practical teachings of the faith. For a Muslim, these beliefs would include belief in Allah, His angels, His scriptures, His messengers, the Day of Judgment, ad Divine Decree. The practical teachings would encompass the various religious duties and prohibitions set forth by Islam.

Western psychologists working in the field of the psychometrics of religiosity have adopted three approaches:

1. Uni-dimensional: where religiosity is regarded as a single trait. Such studies measure factors like one's attitudes towards the "church" and frequency of church attendance. Studies of this kind include those of Thurson and Chave (1929), Thoules (1935), and the Allport-Vernon-Lindsey Study of Values Test.

As an example of the relevance of such research to human wellbeing, Allport has done critically important research in the correlation between religiosity and prejudice in society, showing it to be more nuanced and complex than expected. He said: "the role of religion is paradoxical. It makes prejudice and it unmakes prejudice."

2. Bipolar: where religiosity is looked at from two angles, like "proper / less desirable" or "good / bad". Approaches of this kind include Lenski's landmark study The Religious Factor: A Sociological Study of Religion's Impact on Politics, Economics, and Family Life (1961). By using the emerging tool of the survey to empirically investigate and compare distinct religio-ethnic communities (whites, blacks, Protestants, Catholics, and Jews), Lenski was able to document the apparent social consequences of religious group membership. Another is Walter Houston Clark's The Psychology of Religion: An Introduction to Religious Experience and Behavior (1958).

3. Multidimensional: where religiosity is considered to involve many various aspects f a person's behavior. Studies of this kind include Thouless's An Introduction to the Psychology of Religion 91971) as well as the works of Kurts (1962) Whiteman (1961), and Meadow et. al. (1984).

Muslim contributions to developing psychometric standards for measuring religiosity have been few, much of it amounting to little more than translating the various measures developed by Western scholars into Arabic and other languages to apply in various Muslim societies.

Abdulali and Abulnayl, for instance, translated the Allport-Vernon-Lindsey Study of Values Test. This test has 30 questions, of which ten are devoted to religious values. Each question gives two choices, like:
If you have free time, would you:  (a) visit a dear friend or relative, or  (b) visit your place of worship.
In this question, choosing choice (b) would indicate a positive religious value.

Mahmud Abulnay used this questionnaire in his 1987 study on the effects of religiosity on factory worker productivity in Muslim society. Likewise, al-Hiwari (1978) used the same questionnaire to measure the effects of religiosity on mental stability. Abdulali (1977) used it in his study of how religious values affects people's goals ad aspirations in society. Atiyya Mahmud Hina (1959) used it to measure religiosity in a crucial study comparing the performance of male and female university students in a Muslim country.

In spite of the obvious importance of these studies to understanding the dynamics of Muslim society, the inadequacy of the questionnaire used to measure religiosity should be apparent.

1. First of all, the questionnaire was translated verbatim, without considering the differences between Muslim society and the society for which it was originally written. This was the unfortunate case with all of the above-mentioned studies, notwithstanding the nearly forty years between them. For instance, consider the sample question cited above. Does the fact that Muslims view visiting relatives as an act of worship affect the answer a religious Muslim would give to it? Also, does the fact that a Muslim might go to the mosque five times a day as part of the normal routine make not doing so in "free time" less significant?

2. Secondly, the fact that only two choices were given for each question is problematic. Moreover, each question is designed to measures a religious value, and not religiosity.

Some Positive Muslim Attempts

A few psychometric measuring instruments for measuring religiosity have been developed by Muslims. They have been employed in studies where the measuring of religiosity in Muslim society is needed. They are tentative steps in the right direction, but they suffer from shortcomings.

For instance, Abdulhamid Muhammad Humaydan Nassar (1988) developed a questionnaire of 94 questions, divided into three categories. The first section, comprising 35 questions, deals with emotional considerations. Participants are given a choice of five answers for each: [always -- usually -- sometimes -- rarely -- never] The second section, comprising 34 questions, deals with behavior, like "Do you perform your prayers?" again with the same five options for an answer. The third section of 25 questions uses the same format to test essential religious knowledge.

The problem with this questionnaire is that the three sections overlap considerably. There is a lot of repetition, and many crucial aspects of Islamic religious beliefs ad behaviors are left out.

One of the best psychometric instruments developed thus far to measure religiosity among Muslims is that which was developed by Tiraz Mahdi al-Tâ'i in 1985. It is both comprehensive and easy to implement. The questionnaire is based upon the 77 branches of faith that are found in the classical Islamic literature. A statement is given for each branch with a "yes" or "no" response required. For instance:
I am fully convinced that Allah exists.   [yes]   [no]
This approach of using the 77 branches of faith might ensure completeness, but it also presents some serious problems, among which are the following:

1. The method of response is to inflexible. Consider the question of Allah's existence. A "no" answer to that question could be tantamount to a declaration of unbelief! This goes for other essentials matters of faith asked about in the questionnaire. Such questions force every participant who actually considers himself or herself a Muslim by faith to provide a straightforward [yes] answer. This is not very useful.

2. Since each of the 77 questions is equally weighted, this seriously distorts the value given to responses on highly disparate matters. Is observance of the five daily prayers to be regarded as equal to "removing an obstacle from the road"? Is paying 2.5% of one's savings annually in Zakâh equal to saying "bless you" when someone sneezes? This is certainly not the way Islam – or, for that matter, a religious Muslim – sees things. The religiosity of someone who neglects prayer should be called into question far more than that of someone who neglects to remove obstacles from the road.

3. A single score is give at the end of the process which really does not help in gauging the real nature and degree of the person's religiosity.

A New Attempt

In consideration of the problems and shortcomings that exist in previous attempts at the psychometrics of gauging the religiosity of Muslims, and considering how badly such a measure is needed for research that addresses many of the problems and practical concerns of Muslim society, I have undertaken to develop a psychometric instrument for that purpose. The research was conducted as part of my doctoral work in psychology at the Social Sciences faculty of al-Imam University in Riyadh.

The instrument is a questionnaire of 60 questions, with three choices for answering each. Each of the choices is weighted with one, two, or three points. The wordig of the choices is varied for each question, and the weighting is sometimes in ascending and sometimes in descending order to ameliorate the effects of arbitrary answering.

The questions are divided as follows: Part One deals with the articles of faith. There are six questions, one relating to each of the six articles of faith. For example:
[1] My faith in Allah:

(a) is comparable to that of people of the highest faith
(b) is comparable to that of people of average faith
(c) is comparable to that of people of weak faith

[2] When I think of how the angels worship Allah

(a) it motivates me worship Allah a lot
(b) it motivates me to worship Allah somewhat
(c) it does not motivate me to worship Allah
Part Two comprises 9 questions deals with the pillars of Islam, four relating to prayer, two to fasting, two to Zakâh, and one to the Hajj. For example:
[8] I observe the obligatory daily prayers punctually:

(a) all the time
(b) usually
(c) rarely

[10] I offer my prayers in the mosque:

(a) most or all the time
(b) some of the time
(c) rarely
Part Three comprises the other 45 questions and deals with the rest of the branches of faith. For instance:
[56] I keep up the remembrance of Allah:

(a) rarely, since I am very busy
(b) sometimes
(c) most or all of the time
The overall weight value of different questions is different, depending on how essential it is. These questions are framed to correspond to the religious sensibilities of Muslims with the aim of soliciting answers that will provide a more accurate assessment of their religiosity. Furthermore, they are geared for the specific nuances of religion in Saudi society.

To gauge the accuracy of the test, the initial study group, comprising 70 people, participants were given the questionnaire twice, two weeks apart. There was an 89% correspondence between the two, which is considered very high level of correspondence in psychometrics.

This questionnaire has, over the past decade, been employed in a number of research projects within Saudi Arabia, as well as in other neighboring Muslim countries, with positive results.

I hope that similar efforts will be undertaken by Muslim psychologists and sociologists throughout the world.

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)

Advertisements

YOUR GOOGLE ADSENSE CODE HERE (300x250)